Monday, December 14, 2015

PENGERTIAN HUKUM PERDATA

 
HUKUM PERDATA
A.      ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai teremahan dari burgerlijkrecht pada masa penduduka jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht.
Para ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke -19 adalah:
“suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum public memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Pendapat lain yaitu Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“aturan-aturan atau  norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan prseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu degan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
Di dalam hukum perdata terdapat 2 kaidah, yaitu:
1.       Kaidah tertulis
Kaidah hukum perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
2.       Kaidah tidak tertulis
Kaidah hukum perdata tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan)
Subjek hukum dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1.       Manusia
Manusia sama dengan orang karena manusia mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum.
2.       Badan hukum
Badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban.
Subtansi yang diatur dalam hukum perdata antara lain:
1.       Hubungan keluarga
Dalam hubungan keluarga akan menimbulkan hukum tentang orang dan hukum keluarga.
2.       Pergaulan masyarakat
Dalam hubungan pergaulan masyarakat akan menimbulakan hukum harta kekayaan, hukum perikatan, dan hukum waris.
                Dari berbagai paparan tentang hukum perdata di atas, dapat di temukan unsur-unsurnya yaitu:
1.       Adanya kaidah hukum
2.       Mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain.
3.       Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi hukum orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum waris, hukum perikatan, serta hukum pembuktia dan kadaluarsa.[1]
B.      HUKUM PERDATA MATERIIL DI INDONESIA
Hukum perdata yang berlaku di Indonesi beranekaragam, artinya bahwa hukum perdata yang berlaku itu terdiri dari berbagai macam ketentuan hukum,di mana setiap penduduk itu tunduk pada hukumya sendiri, ada yang tunduk dengan hukum adat, hukum islam , dan hukum perdata barat. Adapun penyebab adanya pluralism hukum di Indonesia ini adalah
1.       Politik Hindia Belanda
Pada pemerintahan Hindia Belanda penduduknya di bagi menjadi 3 golongan:
a.       Golongan Eropa dan dipersamakan dengan itu
b.      Golongan timur asing. Timur asing dibagi menjadi Timur Asing Tionghoa dan bukan Tionghoa, Seperti Arab, Pakistan. Di berlakukan hukum perdata Eropa, sedangkan yang bukan Tionghoa di berlakukan hukum adat.
c.       Bumiputra,yaitu orang Indonesia asli. Diberlakukan hukum adat.
Konsekuensi logis dari pembagian golongan di atas ialah timbulnya perbedaan system hukum yang diberlakukan kepada mereka.
2.       Belum adanya ketentuan hukum perdata yang berlaku secara nasional.
C.      SUMBER HUKUM PERDATA TERTULIS
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam:
1.       Sumber hukum materiil
Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Misalnya hubungan social,kekuatan politik, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, dan keadaan georafis.
2.       Sumber hukum formal
Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku.
                Volamar membagi sumber hukum perdata menjadi empat mecam. Yaitu KUHperdata ,traktat, yaurisprudensi, dan kebiasaan. Dari keempat sumber tersebut dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak tertulis. Yang di maksud dengan sumber hukum perdata tertulis yaitu tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya kaidah hukum perdata tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-undanang, traktat, dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis. Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan.
Yang menjadi sumber perdata tertulis yaitu:
1.       AB (algemene bepalingen van Wetgeving) ketentuan umum permerintah Hindia Belanda
2.       KUHPerdata (BW)
3.       KUH dagang
4.       UU No 1 Tahun 1974
5.       UU No 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.
Yang dimaksud dengan traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua Negara atau lebih dalam bidang keperdataan. Trutama erat kaitannya dengan perjanjian internasioanl. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara pemerintah Indonesia denang PT Freeport Indonesia.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan meruapakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pidahk-pihak yang berperkara terutama dalam perkara perdata. Contohnya H.R 1919 tentang pengertian perbuatan melawan hukum . dengna adanya putsan tersebut maka pengertian melawan hukum tidak menganut arti luas. Tetapi sempit. Putusan tersebut di jadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia dalam memutskan sengketa perbutan melawan hukum.
               


[1] Salim HS,PENGANTAR HUKUM PERDATA TERTULIS [BW], (hlm.7)

Tuesday, December 1, 2015

ta’arudl al-adillah






BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliqnya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa dasar dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan oleh umat muslim untuk membuat hukum, namun di sana ada aturan-aturan yang mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai dengan syari’at. Dasar utama yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan Hadits, namun seiring munculnya suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkan ijtihad dalam penetuan suatu hukum, maka muncul produk hukum qiyas dan ijma’.

B.    Rumusan Masalah
a. Apa pengertian ta’arudl al-adillah?
b. Bagaimanakah cara penyelesaian ta’arudl al-adillah menurut Syafi’iyah?




BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Ta’arud al-Adillah
Secara etimologi ta’arudh adalah pertentangan. Sedangkan al-adillah adalah jamak dari kata dalil yang berarti alasan, argumen dan dalil. Persoalan ta’arudl al-adillah dibahas para ulama dalam ilmu ushul fiqih ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.
 Secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqih di antaranya:
a.     Imam Al-Syaukani mendefinisikannya dengan suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.
c.     Ali Hasaballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari Mesir) mendefinisikannya dengan terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat. Yang dimaksud dengan satu derajat adalah antara ayat dengan ayat atau antara sunnah dengan sunnah.[1]

Contoh pertentangan dalam ayat Al-Qur'an adalah se­perti ketentuan tentang 'iddah wanita yang kematian suami. Firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2: 234, menyatakan bahwa wanita-wanita yang kematian suami 'iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Ayat ini tidak membedakan antara wanita itu hamil atau tidak. Secara umum Allah menyatakan bahwa, apabila seorang wanita yang kematian suami, maka 'iddahnya selama 4 bulan sepuluh hari. Dalam surat Al-Thalaq, 65: 4, Allah menyatakan bahwa wanita yang hamil 'iddahnya sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak membedakan antara cerai hidup (talak) atau cerai mati (kematian suami). Secara umum ayat ini mengandung pengertian bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dengan demikian, terdapat pertentangan kandungan kedua ayat tersebut bagi wanita hamil yang kematian suami.[2]
Contoh lain dari hadits Rasulullah SAW adalah dalam masalah riba. Dalam sebuah sabda Rasulullah SAW. dinyatakan bahwa:
لاَرَيْباً إِلاَّ فِى النَّسِيْئَةِ
“Tidak ada riba kecuali riba nasi'ah (riba yang muncul dari utang piutang).” HR.Bukhari dan Muslim.
Hadits ini meniadakan bentuk riba selain riba nasi'ah, yaitu riba yang berawal dari pinjam meminjam uang. Dengan demikian, riba al-fadl (riba yang muncul akibat suatu transaksi, baik jual beli dan transaksi lainnya), tidaklah haram. Akan tetapi, dalam hadits lain Rasulullah saw, menyata­kan:
لاَتَبِيْعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ إِلاَّ مَثَلاً بِمَثَلٍ
“Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama.. HR.Bukhari, Muslim dan Ahmad ibn Hanbal)
Hadits ini mengandung hukum bahwa riba al-fadl diharamkan. Antara
kedua hadits tersebut terkandung pertentangan hukum dalam masalah riba
al-fadl. Hadits pertama membolehkan, dan hadits kedua mengharamkan.[3]
Menurut Wahbah al-Zuhaili, pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis, dan kekuatan logikanya; bukan pertentangan aktual, karena tidak mungkin terjadi Allah atau Rasul-Nya menurunkan aturan­-aturan yang saling bertentangan. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Syathi­bi, pertentangan itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang qath`i(pasti benar) dan dalil yang zhanni (relatif benar), selama kedua dalil itu dalam satu derajat. Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda, seperti pertentangan antara dali yang qath'i dengan yang zhanni, maka yang diambil adlah dalil yang qath'i,atau apabila yang bertentangan itu ayat Al-­Qur'an dengan hadits ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau tiga orang lebih yang tidak sampai ke tingkatmutawatir), maka dalil yang diambil adalah Al-Qur'an, karena dari segi periwayatannya ayat-ayat al-­Qur'an bersifat qath'i, sedangkan hadits ahad bersifat zhanni.
Di samping itu, menurut Wahbah al-Zuhaili, pertentangan tidak mung­kin muncul dari dalil yang bersifat fi'liyyah (perbuatan), seperti dalil yang menunjukkan Rasul berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada lagi dalil lain yang menyatakan bahwa pada hari itu ia juga berbuka.[4]
Kata Adillah merupakan jamak  dari dalil. Sedang maksudnya adalah “Apa saja yang memungkinkan untuk tercapainya kebenaran nalar dari apa yang dicari.” (Abdul Hamid Hakim, 1983: 4). Dengan demikian, ta’arudl al-adillah adalah pertentangan dua dalil atau lebih dalam satu masalah di mana pertentangan itu satu sama lainnya tidak bersesuaian hukumnya. Lebih lanjut Ali Hasballah menyebutkan ketentuan-ketentuan pada ta’arudl, yaitu:
1.         Adanya dua dalil atau lebih
2.         Dalil-dalil itu sama derajatnya
3.         Mengandung ketentuan hukum yang berbeda
4.         Berkenaan dengan masalah yang sama
5.         Menghendaki hukum yang sama dalam satu waktu. (Tim Depag RI, 1989: 169).[5]


2.     Cara Penyelesaian Ta’arudl Al-Adillah
Apabila dhahir (formal)-nya dua nash yang bertentangan, maka wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk mengumpulkan dan mengkompromikan kedua nash itu dengan cara yang benar di antara cara-cara mengumpulkan dan mengkompromikan dua nash yang kontradiksi. Jika tidak mungkin, wajib meneliti dan ijtihad untuk mengutamakan salah satunya dengan cara diantara cara-cara tarjih. Jika ini dan itu tidak mungkin, dan diketahui sejarah datangnya, maka ditangguhkan dua nash itu.
Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“.
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
1.         Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi.
2.         Mengamalkan satu di antara dua dalil yang kontradiksi.
3.         Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi.
Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas adalah sebagai berikut:
Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (al-Jam’u wa al-Taufiq), dapat ditempuh dengan cara:
a.    Jam’u wa Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.
b.    Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu di antara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.[6]
Ø  Mengamalkan satu dalil di antara dua dalil yang berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau ditakhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan cara:
1.    Nasakh. Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu di antara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi.
2.    Tarjih. Maksudnya adalah apabila di antara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu di antaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.
3.    Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secaranasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.
Ø  Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
1.    Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu di antara keduanya.
2.    Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.[7]
Ø  Cara Penyelesaian Ta’arudl Al-Adillah Menurut Syafi'iyyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama Syafi'iyyahadalah sebagai berikut:
a.        Jam'u wa al-Taufiq
Ulama Syafi'iyyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil tersebut; sekalipun dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqih yang dikemukakan Hanafiyyah di atas yaitu "mengamal­kan kedua dalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah satu diantaranya." Mengamalkan kedua dalil; sekalipun dari satu segi, menurut mereka ada tiga cara, yaitu:
1)   Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka di­lakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya. Apabila, dua orang sa­ling menyatakan bahwa rumah "A" adalah miliknya maka kedua per­nyataan itu jelas bertentangan yang sulit untuk diselesaikan, karena pemilikan terhadap sesuatu sifatnya menyeluruh. Akan tetapi, kare­na barang yang dipersengketakan adalah barang yang bisa dibagi, maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua rumah tersebut.
2)   Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang berbilang, seperti sabda Rasulullah SAW yang menyatakan: “Tidak (dinamakan) shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid.” (H.R. Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal). Dalam hadits ini ada kata "tidak" yang dalam ushul fiqih mempunyai pengertian banyak, yaitu bisa berarti "tidak sah," bisa berarti "tidak sempurna" dan bisa berarti "tidak utama." Oleh sebab itu, seorang mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain.
3)   Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, seperti kasus 'iddah bagi wanita hamil di atas, atau kasus persaksian yang terdapat dalam hadits di atas.[8] Surat al-Baqarab, 2: 234 bersifat umum dan surat al-Thalaq, 65: 4 bersifat khusus, maka dari satu sisi 'iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq, 65: 4. Ulama Hanafiyyah menempuh cara ini dengan metode naskh, bukan melalui pengkompromian.
b.        Tarjih
Apabila pengkompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka seorang mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Katatarjih yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih bisa ditempuh dengan berbagai cara. Umpamanya, dengan mentarjih dalil yang lebih banyak diriwayatkan orang dari dalil yang perawinya sedikit, bisa juga melalui pen-tarjih-an sanad (para penutur hadits), bisa melalui pen-tarjih-an dari sisi matan (lafal hadits), atau ditarjih berdasarkan indikasi lain di luar nash.
c.        Naskh
Apabila dengan cara tarjih kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketa­hui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan, seperti sabda Rasulullah saw.:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فُزُوْرُوْهَا (رواه مسلم)
“Adalah saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah.”(HR. Muslim). Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur, dan hukum terakhir adalah dibolehkan menziarahi kubur, karena 'illat (motivasi) larangan dilihat Nabi  SAW tidak ada lagi.
d.        Tasaqut al-Dalilain
Apabila cara ketiga, yaitu naskh pun tidak bisa ditempuh, maka seorang mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari
kedua dalil yang bertentangan tersebut. Menurut ulama Syafi'iyyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.[9]




BAB III
PENUTUP

1.       Kesimpulan

Berdasarkan hasil uraian yang telah dipaparkan dalam pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan, yaitu: Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain yang mana salah satu diantara dua dalil tersebut menafikan hukum yang ditunjuk oleh dalil yang lainnya.
Metode Syafi’iyyah dalam menyelesaikan Ta’arudh al-Adillah, yaitu secara dengan empat langkah yaitu al-Jamu wa al-Taufiqtarjih, naskh dan tasaqut al-Dalilain. Metode Syafi’iyyah ini juga digunakan oleh ulama Malikiyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah.




DAFTAR PUSTAKA

Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia, 2001 
H.Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003 
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002
Nasrun Haroen, Ushul fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010









[1] Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 183

[2] H.Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) h. 253
[3] bid, hal. 254

[4] Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 185
[5] Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 77

[6] Nasrun Haroen, Ushul fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 174
[7] Ibid, hal. 178

[8] Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 190

[9] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal.229


subyek hokum

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan lepas dari masalah hokum, karena hokum selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera. Hokum itu adalah untuk manusia, kaedah-kaedahnya yang berisi perintah, larangan dan perkenan itu itu di tunjukkan kepada anggota-anggota masyarakat antara subyek hokum.
Kalau membahas tentang ilmu hukum, maka tidak akan lepas dari pembahasan subyek hukum dan obyek hukum. Karena keduanya termasuk bagian yang pokok didalamnya.
Pada makalah ini kami akan membahas tentang subyek hokum dan macam-macam serta bentuknya.[1]
B. Rumusan Masalah
1) Apa definisi dari subyek hokum?
2) Apa saja macam-macam subyek hokum?

C. Tujuan Penulisan
1) Untuk memahami definisi dari subyek hokum.
2) Untuk mengetahui macam-macam subyek hokum.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Subyek Hukum
Subyek hokum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Dapat juga dikatakan, subyek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban atau sebagai pendukung dari hak dan kewajiban. Dengan  hak dan kewajiban maka seseorang memiliki wewenang untuk bertindak. Sudah tentu seseorang yang memiliki kewenangan harus di batasi oleh hukum. Sebab apabila seseorang melakukan perampasan hak sehingga mengakibatkan kematian perdata bagi orang lain. Walaupun termasuk mendukung hak, maka hal ini dilarang.
Contohnya, perbudakan adalah dilarang karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
B. Macam-Macam Subyek Hukum
Subyek hukum terdiri atas dua macam, yaitu :
1) Manusia (Natuurlijke Persoon)
Seseorang dinyatakan sebagai subyek hokum ketika dilahirkan dan berakhir ketika meninggal dunia. Sebagai subyek hukum, manusia mempunyai wewenang untuk melaksanakan kewajiban dan menerima haknya. Misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat, melakukan perkawinan dan lain sebagainya.[2]
Jadi subyek hukum orang yang pada dasarnya mempunyai kewenangan hukum itu ada yang dianggap cakap bertindak sendiri dan ada yang dianggap tidak cakap bertindak sendiri (Personae Miserabile).
Mereka yang tidak cakap ini dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
a) Orang yang belum cukup umur.
·         Menurut KUH perdata seseorang masih dikatakan di bawah umur apabila dia belum mencapai usia 21 tahun, kecuali kalau dia sudah menikah. Seseorang yang sudah menikah meskipun belum mencapai umur 21 tahun tidak akan menjadi ”belum dewasa” lagi jika pernikahan nya bubar.


b) Orang yang diletakkan dibawah pengampuan / pengawasan.
·         Sedang dalam keadaan di bawah pengampunan. Artinya meskipun seseorang itu telah dewasa tapi karena masih dalam keadaan dibawah pengampunan juga bisa di anggap belum dewasa atau tidak bisa melakukan perbuatan hukum. Seperti contoh: orang gila, pegusaha yang mengalami kebrangkutan, pemabok dan pemboros.[3]

2) Badan Hukum (Recht Person)

Disamping orang-orang (persoon), suatu badan atau perkumpulan juga mampu memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan hukum seperti hal nya manusia.
Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat mengandung hak dan kewajiban.
Keberadaan badan hukum sebagai subjek hukum di tentukan dengan empat teori pendukung yang menjadikan syarat utama suatu badan hukum untuk dapat di golongkan menjadi subjek hukum. Keempat teori itu adalah:
a.       Teori Fictie, yaitu badan hukum juga di anggap sama dengan manusia dikarenakan sifat yang majmuk pada unsurnya dan hukum pun memberikan hak dan kewajiban.
b.      Teori kekayaan yang bermaksud agar harta yang dimiliki suatu badan hukum harus memiliki tujuan tertentu, dan harus di pisahkan oleh harta pengurus dan anggotanya.
c.       Teori kepemilikan bersama, yaitu suatu kekayaan badan hukum merupakan kekayaan milik bersama antara pengurus dan anggotanya.
d.      Teori organ, yaitu suatu badan hukum harus mempunyai sestem organisasi atau
e.       alat untuk menelola dan melaksanakan apa yang menjadi tujuan mereka.[4]
contohnya : Koperasi, yayasan dan masjid.




Sebagai subjek hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan hukum, misalnya mengadakan perjanjian dengan pihak lain, mengadakan transaksi jual beli dan lain sebagainya.
1.      Menurut hukum suatu badan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

a) Hukum publik
Yaitu suatu badan hukum yang didirikan dan diatur menurut hukum publik, contohnya : desa, provinsi, dan negara.

b) Hukum perdata
Yaitu suatu badan hukum yang didirkan dan diatur menurut hukum perdata, contohnya : Koperasi, yayasan dan masjid.

2. Dilihat dari bentuknya badan hukum dapat berbentuk :
a) Korporasi (Corporation), yaitu sekumpulan orang yang untuk hubungan tertentu sepakat untuk bertindak dan bertanggung jawab sebagai satu subyek hukum tersendiri. Misalnya : perseroan terbatas (PT), partai politik (Parpol) dan lain sebagainya.
b) Yayasan (Foundation), yaitu kekayaan yang bukan milik seseorang atau suatu badan hukum yang diberi tujuan tertentu. Yayasan tidak memiliki anggota yng ada hanyalah pengurus yayasan.[5]









BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
1. Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum.

2. Subyek hukum terdiri dari atas dua macam :
a. Manusia (Naturlijke Persoon).
b. Badan hukum (Recht Persoon).

3. Badan hukum dibedakan menjadi dua, yakni :
a. Hukum publik.
b. Hukum perdata.
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terimah kasih kepada semua pihak yang ikut andil dalam penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik selalu kami tunggu dan kami perhatikan.




DAFTAR PUSTAKA

Asyhadie, H.Zaeni. 2013. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Rajawali Pers
http://Hukumperdata.wordpress.com.




[1] H.Zaenal asyhadie,S.H.,M.Hum dan Arief Rahman,S.H.,M.Hum,Pengantar Ilmu Hukum,Rajawali Pers,2013,Hal.61
[2] Ibid.,
[3]  H.Zaenal asyhadie,S.H.,M.Hum dan Arief Rahman,S.H.,M.Hum,Pengantar Ilmu Hukum,Rajawali Pers,2013,Hal.62

[4]  H.Zaenal asyhadie,S.H.,M.Hum dan Arief Rahman,S.H.,M.Hum,Pengantar Ilmu Hukum,Rajawali Pers,2013,Hal.63
[5] http://Hukumperdata.wordpress.com,akses tanggal,15-9-2015 pukul 7.24pm

Makalah Sumber Hukum NU

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Di Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa institusi. Majlis Ul...