Thursday, October 13, 2016

Makalah Sumber Hukum NU



BAB I
PENDAHULUAN




A.    Latar Belakang
Di Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa institusi. Majlis Ulama Indonesia (MUI) lebih dikenal oleh masyarakat sebagai lembaga yang berusaha menyelesaikan banyak permasalahan agama dengan mengeluarkan fatwa. Disamping itu, ormas-ormas Islam seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan yang lainnya memiliki institusi yang bertugas untuk mendalami dan merekomendasikan pendapat (bahkan sikap) organisasi terhadap persoalan (hukum) yang terjadi di masyarakat.
Sedangkan, Nahdlatul  Ulama (NU) sebagai jam’iyyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah sejak awal berdirinya telaha menjadikan faham Ahlussunah Waljamaah sebagai basis teologi,(dasar beraqidah) dan menganut salah satu mazhab dari empat mazhab sebagai pegangan dalam berfiqih, yaitu Imam Syafi’i. NU dalam kesehariannya lebih banyak menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Imam Syafi’i

B.     Rumusan masalah
a.       Bagaimana sejarah dan perkembangan NU?
b.       Bagaimana metode Istinbath Hukum Islam menurut NU?










BAB II
PEMBAHASAN


A.                  Sekilas Tentang Nahdhatul Ulama

·         Sejarah

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’aridi Surabaya.Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Dalam Anggaran Dasarnya yang pertama (1927), dinyatakan bahwaNU  bertujuanuntuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat.

·         Perkembangan NU
Dengan landasan keagamaan tradisionalis yang dikembangkan, NU mampu bertanah hingga tujuh puluh tahun.Sejak berdiri hingga eksis sekarang ini, NU mengalami dinamika sejarah sesuai dengan situasi dan transformasi masyarakat.Seorang pengamat NU dari Australia, Greg Barton dan Greg Fealy mengklarifikasi sejarah perjalanan NU dalam tiga periode.
Pertama, periode awal sebagai organisasi keagamaan, sebagaimana organisasi keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah, Persis dan Perti.NU didirikan sebagai jam’iyyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mempunyai misi mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan, pendidikan, ekonomi dan sosial.
Periode pertengahan, yakni ketika NU sebagai organisasi keagamaan, berubah fungsi menjadi sebuah partai politik atau menjadi unsur formal dalam sebuah partai. Era ini dimulai sejak tahun 1930, yakni ketika NU bersama ormas lain mengadakan demo atas represi yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial. Setelah Indonesia merdeka, NU beraliansi dengan Masyumi menjadi partai politik sebagai wahana artikulasi politik umat Islam.Karena itu NU keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik sampai pada akhirnya tahun 1971 fusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan.Di PPP pun, NU tidak dapat berbuat banyak bagi kepentingan bangsa dan negara.Sebagai akumulasi dari kehampaan dalam dunia politik, NU kembali ke khittah 1926.
Periode ketiga, NU kembali pada aktivitas sosial keagamaan.Periode ini sebagai tonggak sejarah baru NU dalam berkhidmat kepada bangsa dan Negara.[1]


B.                Metode Istinbath Hukum Islam Menurut NU
Mekanisme kerjanya, semua masalah yang masuk ke lembaga ini di inventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh ulama, anggota Syuriah dan para pengasuh pondok pesantren yang ada dibawah naungan NU.Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan dijadikan rujukan dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui kitab kuning (Klasik).Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum untuk saling beradu argument dan dalil rujukan.Dalam forum ini seringkali mereka harus berdebat keras dalam mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan dasar yang paling kuat.Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama.
Pada umumnya, rujukan itu mengikuti pendapat Imam Syafi’I, karena madzab ini paling banyak diikuti kaum muslimin dan lebih sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan geografis Indonesia.  Jika pendapat Imam Syafi’I tidak tersedia maka pendapat ulama yang lain diambil, sejauh masih dalam lingkungan madzhab yang empat (syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi). Meskipun semua dasar selalu merujuk pada pendapat ulama pendahulu, namun kondisi masyarakat selalu dijadikan pertimbangan dalam penerapannya.[2]
Dalam penelitiannya Dr. Ahmad Zahro ‘menemukan’ bahwa dalam mengaplikasikan pendekatan mazhaby, Lajnah Bahtsul Masa’il menggunakan tiga metode istinbat hukum yang diterapkan secara berjenjang, secara ringkas nya adalah:

a. Metode Qauliy

Merupakan suatu metode dalam istinbat hukum yang digunakan ulama /intelektual NU dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawaban jawabannya kepada kitab Imam yang empat dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada teksnya dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah ‘jadi’ dalam lingkup mazhab tertentu. Dalam realitanya, menurut warga NU dan para ulama bahwa metode bahtsul Masa’il dengan mengacu pada kitab Imam empat mazhab dengan metode qauliy ini masih refresentatif untuk menjawab segala kebutuhan masyarakat dalam segala zaman berikut tantangannya.

b. Metode Ilhaqy

Ilhaqiy yang dimaksudkan adalah menyamakan hukum suatu kasus yang jawabannya tidak terdapat dalam kitab al-mu’tabarah dengan hukmun atau masalah serupa yang telah dijawab dalam kitab al-mu’tabarah. metode ini secara operasional sebagaimana qauliy juga telah lama diperaktekkan ulama NU untuk menjawab permasalahan yang diajukan masyarakat Nahdliyyin. Metode ini secara opersional sebagaimana qauliy juga telah lama diperaktekkan oleh ulama yang meskipun secara implisit belum dinamakan ilhaqiy.[3]

Dalam perakteknya ilhaqiy menggunakan prosedur dan persyaratan mirip qiyas, karenanya juga dinamakan qiyas versi NU, namun ada perbedaan dari kedua term ini, qiyas memperbandingkan dengan al-Qur’an dan as-sunnah sedangkan ilhaqiy memperbandingkan dengan kitab al-mu’tabarah.

c. Metode Manhajiy
Yang dimaksudkan dengan metode manhajiy adalah bermazhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh Imam mazhab.[4] Sebagaimana qauliy dan lhaqiy , manhajiy sebenarnya sudah diperaktekkan Ulama-ulama NU terdahulu, walaupun tidak dengan istilah “manahjiy” ataupun keputusan resmi namun jika dilihat dari kriteria dan ‘identitasnya’ metode ini sudah lama dipakai. Sebagai contoh, dalam keputusan Muktamar 1 thn 1926: yang menguraikan dapatnya pahala si mayit atas sodaqoh yang dikeluarkan keluarga dan atau orang lain yang masih hidup, hal ini disandarkan jawabannya dengan mengutip hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ أَخْبَرَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ قَالَ حَدَّثَنِى عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم إِنَّ أُمَّهُ تُوُفِّيَتْ أَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِى مِخْرَافًا وَأُشْهِدُكَ أَنِّى قَدْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا

Artinya: Ibnu Abbas meriwayatkan bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw, sungguh ibuku telah meninggal, apakah dia memperoleh manfaat apabila saya bersedekah untuknya?? Maka beliau menjawab ‘ya’ dapat, Dia berkata sungguh saya mempunyai keranjang buah, maka kupersaksikan kepadamu bahwasanya saya telah menyedekahkannya untuk dia.[5]

Keputusan diatas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk kepada hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat Imam mazhab setelah al-Qur’an.

Dengan melihat metode penyelesaian masalah dalam Lajnah Bahtsul Masa’il diatas dapat disimpulkan dalam meyelesaikan persoalan ummat, NU dapat dikatakan tidak ‘enggan’ memakai hadis, kendati memakai suatu hadis namun Nahdiyyin tidak serta merta langsung merujuk kepada teks hadis melainkankan memahaminya dengan mereferens kembali kepada pemahaman Imam yang empat terhadap hadis tersebut (kitab al-Mu’tabarah).

a.      Tatacara Menjawab Masalah
ü  Dalam kasus ketika bisa dicukupi oleh Ibarat Kitab dan disana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana yang diterangkan dalam ibarat tersebut.
ü  Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh Ibarat Kitab dan disana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan tahrir jama’i untuk memilih satu qaul.
*    Proses pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan:
mengambil pendapat yang lebih mashlahat atau yang lebih rajah (kuat);
*                            sebisa mungkin melakukan pemilihan pendapat dengan mempertimbangkan tingkatan sebagai berikut:
ü  pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhan (Imam An-Nawawi dan Rafi’i);
ü  pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja;
ü  pendapat yang dipegang oleh al-Rafi’i saja;
ü  pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama;
ü  pendapat ulama yang terpandai; dan
ü  pendapat ulama yang paling wara’(berhati-hati terhadap hukum)

ü  Dalam kasus tidak ada qaul sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur Ilhaq (menyamakan hukum suatu masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan masalah serupa yang ada dalam kitab).
ü  Dalam kasus tidak ada qaul sama sekali dan tidak mungkin dilakukan Ilhaq, maka bisa dilakukan Istinbath jama’i dengan prosedur bermazhab secara manhaj.
b.      Analisis Masalah
Mengunakan kerangka pembahasan masalah :
Ø  Analisa masalah (sebab mengapa terjadinya kasus ditinjau dari berbagai factor baik sosial, budaya, ekonomi, politik, dll)
Ø  Analisa dampak positif dan negatif dari berbagai aspek
Ø  Analisa hukum (fatwa tentang suatu kasus) setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala bidang. Keputusan ini mepertimbangkan :
1.      Status hukum (al-ahkam al-khamsah)
2.      Dasar dari ajaran Ahlussunnah Waljama’ah
3.      Hukum positif (hukum Negara yang berlaku saat ini)
-          Analisa tindakan, peran dan pengawasan (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi fatwa diatas).[6]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
1.      Nahdhatul Ulama (NU) merupakan salah satu ormas Islam yang berperan dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesiayang mempunyai misi mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan, pendidikan, ekonomi dan sosial.
2.      Prosedur pengambilan keputusan hukum adalah:
Semua masalah yang masuk ke lembaga ini diinventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh ulama, anggota Syuriah dan para pengasuh pondok pesantren yang ada dibawah naungan NU.Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan dijadikan rujukan dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui kitab kuning (Klasik).Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum untuk saling beradu argument dan dalil rujukan. Dalam forum ini seringkali mereka harus berdebat keras dalam mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan dasar yang paling kuat.Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama.

Daftar Pustaka

Fadeli, Soeleiman dan Moh. Subhan, ,2008, Antologi NU, Khalista: Surabaya
Harits, Busyairi,2010, Islam NU (Pengawal Trasisi Sunni Indonesia), Khalista: Surabaya
Sobary, Mohammad, 2010, NU dan keindonesiaan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Irsyad al-Syari ed.Muhammad Ishomuddin Hadziq Jombang: Pustaka Warisan Islam.
Zahro, Ahmad Tradisi Intelektual NU Lajnah Bahtsul Mas’ail 1926-1999 ,Yogyakarta: LKIS. 2004




[1] Mohamad Sobary, NU dan keindonesiaan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010) Hlm.226

[2] Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, Antologi…, Ibid., hlm. 35-36
[3] Martin Bruinessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKIS. 1994) Cetakan I, Halaman 213, juga Ahmad Zahro Tradisi Intelektual NU.....hlm 116
[4] Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan.....hlm 364
[5] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Bab idza Wuqifa Ardlan Walam Yubayyin al-Hudud, no : 2770 dalam Maktabah al-Syamilah juga Kitab al-Muhadzdzab, Bab al-Wasiyyat.
[6] Busyairi Harits, Islam. . .op.cit, hlm.59-61.

No comments:

Post a Comment

bercomentar baik pasti di tanggapi baik pula

Makalah Sumber Hukum NU

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Di Indonesia, pelaksanaan hukum Islam diwakili oleh beberapa institusi. Majlis Ul...